Mencari
Sang
Pelopor.....
PERJALANAN panjang
melelahkan, menelusuri jantung Desa Kekait hanya untuk bertemu sang Pelopor.
Rasa ingin tahu dan bertemu tak pernah pudar. Dan nanti dalam pertemuan itu,
ingin mengorek segala hal terkait penganugerahan “Pelopor” baginya. Siapa dia?
Dia adalah H. Habibul Mustaan, sang Pelopor Kedaulatan Pangan Nasional dari
Desa Kekait Kecamatan Gunungsari.
Pagi
hari, cahaya mentari di desa itu masih bersinar cerah. Cahayanya meredeup
ditelan terik matahari, sehingga warna angkasa menjadi biru temaram. Langkah
ini pasti dan satu niat; bertemu dengan H. Habibul Mustaan. Kendati disetiap
persimpangan harus rela bertanya; dimana gerangan rumah sang Pelopor tersebut.
Akhirnya pada sebuah
dusun kecil bernama dusun Kekait Daye, tinggallah sesosok lelaki paruh baya
yang tak lain adalah Habibul Mustaan (35). Warga Kekait akrab menyapanya
Mustaan. Dia dianugerahi sebagai Pelopor Kedaulatan Pangan Nasonal, karena berhasil
merubah tatanan kehidupan ekonomi warga Kekait yang pahit dan getir itu.
Sekarang telah menempuh titik balik yang
baru. Spontan sudah berubah, karena semburat impresi oleh desa Aren di jantung
Kabupaten Lombok Barat (Lobar) ini.
Mungkin
ada yang bertanya, kenapa harus Kekait? Apa yang menarik di desa ini?
Jawabannya cuma satu, Aren! Aren adalah ciri khas desa Kekait. Terletak di
perbukitan yang subur, merupakan berkah tak terhingga bagi desa ini, karena
bukan cuma aren yang tumbuh lebat di perkebunan. Mustaan akhirnya berceloteh
membuka percakapan, hampir tidak ada tanaman yang ditanam dengan sengaja di
Kekait. Aren, pisang, durian, nangka dan pepohonan yang rimbun menumpuk di
Kekait, adalah anugerah yang tumbuh sendiri.
Saya jadi tertegun.
Desa ini memang memproduksi hasil olahan aren. Mulai dari Tuak Manis yang disadap dari getahnya
sampai gula aren yang terkenal itu. Tapi bukan hanya itu. Baru sekarang juga saya
paham kalau pohon aren (enau) tiap incinya pun bermanfaat. Biji aren dapat
berubah menjadi kolang-kaling di es buah yang dapat dibeli dimana-mana. Bahkan
dedaunannya dapat dijadikan sapu lidi, ijuk hingga atap rumbia. Buah-buahan
lain juga marak di Kekait. Tidak ada satupun dari pisang ataupun nangka hasil
tanah Kekait yang tidak manis rasanya.
Kudengar
sang pelopor berceloteh. Tidak usah jauh-jauh ke bukit, di sekeliling rumah
warga saja sudah banyak pepohonan rindang yang tumbuh subur. Potensi ini
benar-benar dimanfaatkan warga. Tapi masalah memang ada dimana-mana tak
terhindarkan. Demikian juga dengan desa Aren ini, SDM yang nyaris lumpuh,
sementara potensi sumberdaya alam berupa aren terus melimpah ruah tanpa bisa
dimanaj dengan sempurna. Kondisi inilah yang akhirnya dirubah oleh Mustaan
hingga mencapai klimak impian yang nyata. “Sekarang, berapapun Tuak Manis (air
nira) milik warga saya beli,” tantangnya.
Konon, tuak manis pun merupakan salah
satu usaha menjanjikan warga Kekait. Namun tuak manis ini telah dialih
fungsikan menjadi minuman keras memabukkan (miras). Dengan kondisi yang tidak mengenakkan, hampir
saban hari anak-anak muda terlibat dalam konsumsi miras tuak ini. Kendati
awiq-awiq dan regulasi Perda miras pun muncul, namun minuman memabukkan yang
satu ini toh masih disukai pula.
Mustaan
kembali ke masa lalu, saat Sumberdaya Manusia (SDM) bidang
ekonomi Desa Kekait nyaris lumpuh, nyaris mendapat branding status rendah.
Namun sejalan dengan kondisi globalisasi yang kian hebat dan cepat, berdampak
positif pada pengembangan SDM tersebut. Salah satu dampak positif itu mengarah
pada Habibul Mustaan. Lelaki ramah ini, mampu membawa desanya berbicara di
tingkat nasional. Melalui upayanya membangun masyarakat pra sejahtera menjadi
sejahtera, akhirnya, lelaki murah senyum ini dinobatkan sebagai Pelopor
Kedaulatan Pangan Nasional. Inovasinya adalah, pengembangan ekonomi melalui produksi
gula semut.
Sepak terjang
Mustaan membangun ekonomi warga terus berlanjut. Bagai air sungai tiada
bermuara. Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Seluruh yang berkaitan
dengan air nira, disulapnya menjadi gula batu, gula semut, gula cair bahkan minuman
tradisional ‘serbat’ dikemas rapi dalam bentuk sunshet. Hampir tak ada yang
tersisa, semua laris manis menelusuri pasaran tradisional maupun moderen. Toko,
kios, warung bahkan supermarket ternama pun, gula semut milik Mustaan hampir
memenuhi tiap outlet. Tidak berhenti sampai di situ, di kantor-kantor pemerintah di Lombok
Barat, gula semut milik Mustaan pun dikonsumsi para pegawai.
Melihat itu, Mustaan
harus konsen, ingin menemukan satu solusi yang tepat, supaya harga-harga
produksi gula semut bisa terangkat. Jika solusi itu bisa jalan, maka nilai plusnya akan terangkat
pula. Namun selama belasan tahun, Mustaan harus banting tulang, jatuh bangun
membina perekonomian masyarakat desanya. Selama itu pula, teryata belum juga
berhasil membukakan matanya tentang dunia, tentang apa yang selama ini sudah
dikenalnya.
Tapi dalam dua bulan
terakhir, Mustaan sedang menemukan titik balik yang baru. Persepsinya tentang
banyak hal drastis berubah, karena lagi-lagi semburat inspirasi yang
ditampilkan oleh Desa Kekait yang kaya akan sumberdaya alam...ya berupa pohon
aren.
Melihat potensi itu,
Mustaan menemukan titik nadir, mendepersifikasi gula aren. Setelah berhasil,
selanjutnya mencari kemasan yang memang lebih menarik dari sebelumnya. Intinya
adalah merubah kemasan. Setelah itu dilanjutkan dengan mencari pasaran yang
lebih luas, namun tidak serta merta meninggalkan pasar sebelumnya yakni pasar
tradisional. “Dalam pemasaran, semua harus jalan, baik di pasar tradisional
maupun moderen,” jelasnya pada suatu kesempatan dialog dengan saya.
Tidak hanya itu,
bidikan lain yang difokuskan adalah pasar ekspor. Terhadap hal ini, diperlukan
tenaga-tenaga trampil yang bisa mengolah, mendapatkan dukungan dari masyarakat
setempat yang nota bene terlibat dalam pengolahan gula semut atau gula aren ini.
Termasuk yang tak kalah pentingnya adalah mendapat dukungan dari pemerintah
Lombok Barat.
Diakui, setelah
adanya produk, singkronisasi serta dukungan semua pihak, maka tingkat kesejahteraan
masyarakat, dari apa yang diproduksi hari ini, maka habis untuk hari ini.
Tetapi untuk saat ini, Mustaan tidak berfikir mau makan apa hari ini. Demikian
juga dengan sebagian masyarakat, sebelumnya tidak memiliki daya beli yang kuat,
namun sekarang berada dalam level di atas rata-rata.
Mustaan tidak
mempungkiri kendala yang ada. Minimnya produksi lebih dikarenakan masih
menggunakan pola-pola produksi gula semut secara tradisional. Sementara untuk
memenuhi kebutuhan nasional, dibutuhkan penggunaan sarana dan alat-alat
produksi moderen. Karena produksi aren menjadi gula semut harus dilakukan tepat
waktu. “Itu kendala kita berproduksi dalam skala besar. Kami sedang berkoordinasi
dengan Dinas Perindustrian dan Bappeda Lombok Barat untuk mengoptimalkan produksi
kita,” jelas Mustaan.
Hal ini beralasan,
karena Mustaan terpilih sebagai Ketua Asosiasi Aren Indonesia (AAI) Nusa
Tengara Barat (NTB), tentu harus membangun komunikasi bisnis dengan berbagai
pihak dalam memperluas pasar produk gula berbahan baku air aren ini.
Kata Mustaan, AAI
NTB sendiri, mampu memproduksi ratusan kilogram gula merah per bulan dalam bentuk
batangan dan gula semut dengan memanfaatkan potensi air nira (enau). Ini masih
di Kabuaten Lombok Barat, Lombok Utara dan Lombok Timur, belum termasuk
kabupaten/kota lain yang belum menjadi angota AAI NTB. “Kami siap menjalankan
kerjasama sepanjang saling menguntungkan,” ucap sang pelopor yang sudah
menggeluti usaha produksi gula aren selama puluhan taun itu.
Sekarang kesibukan
Mustaan seperti never die, terus
berlanjut. Apalagi AAI NTB sendiri diminta sebagai salah satu daerah penopang
kebutuhan gula merah ekspor. Baru-baru ini, AAI NTB telah menandatangani MoU
dengan PT.PPI (Perusahaan Perdagangan Indonesia) untuk menjawab kebutuhan gula
merah di luar dan dalam negeri. “AAI pusat meminta NTB menyiapkan minimal 1,5
ton gula semut sebulan,” kata Mustaan. Bagi dia, permintaan ini cukup tinggi, karena pihaknya masih
melakukan produksi yang terbatas. Sementara hasil di daerah bisa dipasok hanya
untuk memenuhi kebutuhan nasional. Sedangkan MoU yang dilakukan dengan PT. PPI,
untuk kebutuhan ekspor ke Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Timur Tengah,
selebihnya ke Eropa.
Apapun alasannya,
Mustaan kini sudah menjadi pelopor. Sang Maistro Kedaulatan Pangan Nasional yang
membawahi lebih dari 397 orang petani perkebunan pohon aren. Luas areal
perkebunan mencapai sekitar 128 hektar.
Satu hal yang membut
saya terkesima dari Kekait. Semakin hari warganya tumbuh tidak menjadi warga
individualistis. Dulu, warga tidak peduli dengan urusan orang lain. Sekarang
mereka hangat dan ramah. Setiap orang yang saya temui, pasti menyapa dan
tersenyum. Dari bocah-bocah kecil, anak-anak muda sebaya, ibu-ibu dan
bapak-bapak hingga kakek nenek, semua rajin tersenyum dan menyapa dengan sejuta
kehangatan.
Mungkin mereka telah
menemukan keindahan, dan telah membuka mata, karena lebih banyak tahu tentang
potensi dan daya tarik desa Aren Kekait. Sama dengan potensi desa Kekait,
seseorang seperti Mustaan bukan hanya menarik, tetapi juga memiliki banyak
potensi, harus bermanfaat bagi orang lain dan sekitarnya. Semoga! (L.Pangkat
Ali)