Rabu, 23 Maret 2011

Pendapat Sementara Orang Tentang Lombok
 
Sementara orang, terutama dari luar Lombok berpendapat bahwa, nama Pulau Lombok berasal dari nama tanaman Lombok atau Cabe Rawit yang rasanya pedas. Barangkali pendapat ini disesuaikan dengan tulisan namanya yang sekarang, “Lombok” dan sesuai pula dengan pulaunya yang kecil mungil. Juga nama suku Sasak, ada yang berpendapat bahwa, pada jaman dahulu, orang yang pertama kali datang sebagai penghuni Pulau Lombok, datang dengan menumpang sebuah rakit yang berarti “Sasak”. Oleh sebab itulah maka, nama penduduknya dinamakan orang Sasak.

Selasa, 22 Maret 2011

UNGKAPAN AJARAN BERMAKNA DALAM SUKU SASAK



Berbagai ungkapan tradisional yang diinventarisasikan ini, mengandung unsur ajaran yang bermakna. Pada setiap ungkapan, selalu disajikan cerita rekaan untuk memperjelas maknanya. Cerita, diketengahkan secara fiktif. Tidak ada niat untuk mengisahkan kisah seseorang dalam nama tokoh. Ini terungkap secara kebetulan dan tidak disengaja. Berikut beberapa ungkapan tradisional suku Sasak.

Adeq te tao jauq aiq (Supaya kita dapat membawa air):

 

Ungkapan ini mengandung makna bahwa, dalam suatu perselisihan/pertengkaran yang memanas, kita mampu menjadi pendingin. Dalam ungkapan ini pula, diumpamakan sebagai pembawa air, karena air memiliki sifat pembunuh api. Jika suatu pertengkaran menjadi panas diumpamakan seperti api, maka airnya adalah orang yang memberi nasihat, sehingga mereka yang sedang panas hati karena bertengkar menjadi dingin.
Untuk memperjelas, disajikan cerita rekaan: Icok dan Imok sedang bertengkar ramai sekali, disaksikan beberapa teman. Pertengkaran itu muncul karena, Icok dikira telah merebut pacar Imok. Pada saat mereka bertengkar, kemudian lewatlah Inaq Minok. Setelah mengetahui duduk persoalannya, Inaq Minok kemudian menasihati kedua gadis itu. “Dik Icok dan Imok, pertengkaran ini hanya salah faham dan praduga. Untuk itu kalian supaya rukun kembali dan saling memaafkan”. Rupanya nasihat Inaq Minok dapat dipahami kedua gadis yang baru saja usai bertengkar. Keduanya langsung menjadi dingin dan akhirnya saling memaafkan.
Dalam contoh cerita di atas, Inaq Minok disebut tao jauq aiq, bisa membawa air yang mendinginkan suasana panas karena pertengkaran.

Asaq ngompal bawon aiq (Batu asah terapung di atas air) :

 

Ungkapan ini menggambarkan suatu pengharapan yang tidak mungkin terpenuhi, karena keadaannya memang tidak memungkinkan. Hal ini tampak dari penggunaan perumpamaan batu asah. Benda ini jelas tidak mungkin terapung di atas air, tapi harus tenggelam karena berat.
Ungkapan ini ingin menggambarkan suatu perbuatan yang sia-sia. Orang yang mengerjakan suatu yang tidak sesuai dengan keadaan, baik berupa materi, kecakapan, pangkat dsb. Ungkapan ini memilih perumpamaan dengan batu asah, sebab pada masyarakat pedesaan, asah merupakan peralatan kebutuhan sehari-hari mereka. Biasanya setiap rumah punya asah, dan untuk memelihara asah ini biasanya direndam dalam air. Dan pasti tenggelam, tidak ada yang mengapung.
Contoh cerita rekaan:
Amaq Iying, seorang buruh tani, tinggal disebuah desa. Penghasilannya sangat kecil. Untuk memberi makan keluarganya yang berjumlah lima orang, ia sering kekurangan, apalagi kebutuhan lainnya seperti sandang. Soleh, anak sulung Amaq Iying sudah menjadi remaja dan pergaulannya luas, terutama dengan anak-anak orang mampu. Karena pergaulan seperti itu, Soleh bergaya seperti anak orang mampu baik cara berbusana dan gaya hidupnya berpoya-poya. Orang tuanya sering dipaksa memenuhi kebutuhannya. Karena sayang anak, Amaq Iying memenuhi kebutuhan Soleh, meskipun dengan cara susah payah. Akhirnya, Soleh juga minta dibelikan sepeda motor. Mendengar permintaan yang berlebihan itu, si ayah terkejut. Mana mungkin orang tua yang miskin papa itu bisa mengabulkan permintaan Soleh. Pertengkaran pun terjadi.
Seorang tetangga yang mendengar peristiwa itu berkomentar seputar permintaan Soleh dengan ungkapan: “Asaq ngompal bawon aiq”. Sangat mustahil.

Bareng anyong jari sejukung (Bersama-sama lebur jadi seperahu) :

 

Ungkapan ini mengandung makna senasib sepenanggungan. Di sini digunakan perumpamaan seperti orang dalam satu perahu. Kalau perahu itu mengarungi lautan, maka orang-orang dalam perahu itu akan senasib sepenanggungan. Apa yang dialami selama mengarungi lautan, akan ditanggulangi bersama.
Ungkapan ini biasanya ditujukan sebagai nasihat dalam berumah tangga atau hidup bermasyarakat. Untuk memperjelas, disajikan cerita fiktifnya: Maman dan Mimi adalah sepasang suami istri. Awalnya mereka hidup rukun dan bahagia, namun belum sampai setahun berumah tangga, cobaan terus menimpa. Mimi sering sakit dan memerlukan pengobatan. Untungnya Mimi tekun mencari nafkah untuk hidup mereka. Tapi Maman belum dapat pekerjaan tetap, hidup mereka menjadi serba susah. Makan sehari pun kadang susah diperoleh. Kesulitan mereka semakin parah, karena Maman tidak mau berusaha mengatasi kesulitan rumah tangganya. Pertengkaran pun tidak bisa dielakkan.
Hal ini diketahui oleh mertua Mimi, orang tua Maman : “Sekarang kalian sudah menjadi suami istri. Artinya, kalian berdua harus membangun rumah tanggamu sendiri secara bahu membahu. Susah senang harus dirasakan dan ditanggulangi bersama. Seperti kara orang sasak, bareng anyong jari sejukung” Mendengar nasihat itu, suami istri itu akhirnya menyadari kekeliruannya dan berjanji untuk membina, mengatasi bersama segala kesulitan.

Bodo-bodo tokoq, belok nyenyedaq (Bodoh-bodoh tokoq (jenis ikan), bodoh merusak):

 

Kelihatannya bodoh, tapi kebodohannya itu merusak. Ungkapan ini mengandung makna bahwa, anak yang tampaknya bodoh dan pendiam, tapi ternyata tidak patuh pada orang tuanya.
Dalam ungkapan ini, sifat seperti itu diumpamakan sebagai ikan tokoq. Ikan tokoq adalah sejenis ikan air tawar. Ikan ini sangat jinak, bisa ditangkap dengan mudah. Tapi ikan ini bisa melukai karena senjata pada siripnya. Ia juga memiliki kulit yang licin.
Ungkapan ini biasanya ditujukan kepada anak gadis yang kelihatan pendiam, tapi ternyata tak patuh kepada orang tuanya. Bisa juga ditujukan kepada orang yang pendiam dan tampak penurut, tapi melakukan perbuatan yang menyulitkan orang tuanya.
Untuk memperjelas ungkapan ini, disajikan cerita : Haji Dullah mempunyai anak gadis bernama Fatimah dan suka pendiam dan pemalu. Karena itulah orang tuanya mencarikan jodoh untuknya. Orang tuanya menginginkan jodoh dengan seorang pemuda yang taat beribadah, berbudi pekerti baik, memiliki pekerjaan tetap dan bertanggung jawab. Alhasil Fatimah dikawinkan dengan seorang misan dan tak ada kesulitan keluarga kedua belah pihak untuk mengawinkan kedua remaja itu. Namun tak disangka, Fatimah merariq (kawin lari) dengan seorang pemuda lain pilihannya sendiri. Orang tuanya sangat kaget setelah mengetahui Fatimah merariq dengan seorang pemuda pengangguran dan akhlaknya tidak baik.
Orang sekampung yang mengetahui kejadian itu mengatakan, sifat Fatimah yang pendiam dan pemalu berkomentar : “Iya aran kanak bodo tokoq, belok nyenyedaq” artinya, itu namanya anak bodoh bodoh tokoq, tapi merusak. Ungkapan ini mengandung ajaran, seorang anak pada dasarnya harus patuh kepada orang tua.


Ndaq ampahang simbur paleng (Jangan remehkan lele pingsan) :


Ungkapan ini mengandung makna, jangan meremehkan hal-hal yang nampaknya sepele, tapi harus selalu waspada. Dalam ungkapan ini diumpamakan sebagai lele pingsan. Lele adalah jenis ikan yang memiliki pantek/saeng. Lele yang pingsan, jangan dianggap tidak berbahaya, sebab sewaktu-waktu bisa sadar lalu menyengat/memantek. Ungkapan ini sebagai nasihat, agar kita selalu waspada. Untuk jelasnya, disajikan cerita rekaan :
Pak Jemang memiliki sawah yang cukup luas. Untuk mengerjakannya memerlukan pembantu. Ia lalu mengajak Sidik, seorang pemuda pengangguran dan sering keluar masuk penjara karena kasus mencuri. Maksud Pak Jemang, agar Sidik punya pekerjaan dan kesibukan. Dengan pekerjaan dan penghasilannya itu, Sisik bisa bertaubat dan menjadi orang baik-baik.
Saat itu pula seorang tetangga yang kebetulan lebih tua dan berpengalaman menasihati Pak Jemang: “Endaq ampahang simbur paleng” Mendengar nasihat tersebut, tahulah pak Jemang bahwa ia harus waspada. Walaupun nampaknya Sidik orang baik-baik, tetapi tetap harus waspada.
Ungkapan ini mengandung ajaran, agar kita selalu waspada, lebih-lebih kepada orang-orang yang sudah kita kenal tabiatnya kurang baik.

Ulah mandi isiq bisana (Ular bertuah oleh bisanya (racunnya):

 

“Ular bertuah oleh bisanya”, ungkapan ini mengandung arti bahwa, seseorsng itu berharga atau berguna karena ilmunya. Dalam ungkapan ini diumpamakan sebagai ular dengan bisanya. Makin keras bisa ular, makin ditakuti. Maksudnya makin berilmu seseorang, makin dihargai dan disegani.
Ungkapan ini biasanya digunakan untuk melukiskan seseorang yang disegani dan dihargai karena kepandaiannya, untuk dapat dijadikan contoh dan anak-anak muda yang sedang dalam usia menuntut ilmu.
Untuk jelasnya, disajikan cerita : Ali, seorang pemuda. Di desa tempat tinggalnya, ia banyak membantu kepala desa dalam usaha membangun desanya. Kepada orang-orang tua, Ali selalu menaruh hormat. Banyak warga desa yang senang dan berkunjung ke rumahnya untuk menyatakan berbagai hal. Dalam setiap kesempatan musyawarah desa, Ali selalu diundang untuk memberikan penjelasan kepada masyarakat. Ini disebabkan karena Ali pemuda yang berpendidikan dan banyak pengetahuan, sehingga mampu memberikan sumbangan pikiran kepada masyarakat. Karenanya orang-orang tua pun menghargai dan menaruh hormat kepadanya. Kemampuan Ali yang demikian itu digambarkan sebagai Ulah mandi isiq bisana.
Menurut ilmu, untuk meningkatkan martabat manusia adalah salah satu nilai kemanusiaan yang perlu dijunjung tinggi.
Demikian beberapa ungkapan tradisional suku Sasak. Masih banyak lagi ungkapan lain yang belum tersaji. Pada kesempatan lain akan dibahas lagi. Semoga!

ANDANG-ANDANG DALAM PIRANTI SUKU SASAK

Andang-andang dalam istilah suku Sasak adalah, semacam simbol untuk memulai sebuah pekerjaan. Andang-andang terdiri dari lekes (daun sirih dan buah pinang) sebanyak sembilan buah, tembakau dan sembilan batang rokok, kepeng bolong 225 kepeng, beras, sebutir telur ayam kampung dan benang segelinting (segulung benang) yang ditempatkan dalam media penginang kuning (semacam baskom kecil terbuat dari kuningan).

Senin, 21 Maret 2011


Peranan Lembaga Majelis Adat Sasak di Lombok

SETELAH diteliti dan dicermati, peranan Lembaga Majelis Adat Sasak di Lombok makin berkembang. Berbagai macam ungkapan akan pentingnya meneliti kembali kebudayaan, merupakan salah satu penunjang kebudayaan secara nasional, termasuk juga kebudayaan suku Sasak di Lombok.
Sejak sekian lama lembaga Majelis Adat Sasak didirikan, tidak sedikit terdapat hal-hal yang perlu mendapat pembenahan untuk menertibkan hidup dan kehidupan berbudaya, termasuk adat dan kebiasaan sehari-hari, sudah jauh dipengaruhi oleh kebiasaan yang datang dari luar.
Dari berbagai macam upacara adat yang berlaku dan dilaksanakan di Pulau Lombok, maka adat perkawinanlah yang masih sangat dominant dilaksanakan oleh masyarakat Sasak, yaitu mulai dari merari’ sampai kepada penyelesaian selanjutnya, banyak sekali menimbulkan persoalan yang terkadang terjadi pertentangan dalam masyarakat.
Untuk itu dirasa perlu memberikan pengungkapan melalui referensi ini, dan tidak berarti untuk menggali hal-hal yang berlaku di zaman lampau, terutama zaman masyarakat feodal. Tapi yang berlaku sehari-hari sebagaimana patokan akan timbulnya bermacam-macam upacara dalam perkawinan dengan segala pengertiannya.
Terutama mengenai hukumnya, sehingga setiap perkawinan dengan segala macam upacaranya, dipatuhi oleh masyarakat. Sebagai dasar hukumnya, setiap perkawinan akan sah, jika telah melalui tiga macam hukum yaitu : Hukum Negara, Hukum Agama dan Hukum Adat.
Kendati ketiga hokum itu terpisah-pisah, yaitu hukum negara ditimbulkan dengan undang-undang negara, hokum agama memiliki aturannya sendiri dan hukum adat juga mempunyai aturan pelaksanaannya sendiri. Namun dalam pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan, dengan kata lain, jika hukum Negara saja yang dilaksanakan, maka perkawinan itu tidak sah menurut hukum agama dan sebaliknya, jika hanya hukum agama saja yang dilaksanakan, maka perkawinan itu tidak sah menurut hukum Negara. Semenyata masing-masing hukum tersebut memiliki sangsi sendiri-sendiri.
Mengenai hokum perkawinan Negara termaktub dalam undang-undang perkawinan No. 1 tahun 1974 yang sekaligus termasuk dalam hokum agama, juga sudah memiliki ketegasan dalam pelaksanaan dan sangsinya. Dalam hal ini, yang penting diungkapkan adalah permasalahan adat dalam perkawinan suku Sasak dengan segala macam upacaranya.

Masalah Merari’
Soal merari’ dalam pengertiannya yaitu, seorang lelaki mengambil kawin seorang perempuan yang akan menjadi istrinya. Dalam pelaksanaan upacara adatnya ada beberapa tahap yaitu :
- Merari’
- Melaksananan Sejati/selabar
- Mengambil Wali
- Membait Janji
- Sorong Serah
- Nyongkol
- Balik Lampak
Mengenai merari’ mungkin tak pelu dikupas, karena masyarakat adat sudah mengetahuinya, yaitu seorang perempuan diambil kawin oleh seorang lelaki secara melarikan diri berdua. Selain cara itu, ada lagi cara yang berkembang belakangan ini ialah, secara belakoq (meminang) yang tentunya kedua cara ini dalam pelaksanaannya masing-masing berbeda. Cara yang pertama melakukan sejati/selabar dan cara kedua yaitu belakoq, langsung mengadakan perundingan bagi kedua belah pihak.
Pengertian sejati/selabar ialah, (mesejati), sebagai laporan kepada perangkat desa (kades atau kadus) bahwa di desanya telah ada orang yang melakukan merari’ untuk kemudian akan menjadi suami-istri. Sedangkan selabar, menyebarkan kepada masyarakat tentang telah merari’-nya seorang lelaki dengan seorang perempuan. Tahap selanjutnya, meminta wali kepada orang tua pihak perempuan untuk disahkan menjadi suami-istri secara Agama Islam. Meskipun soal ini tidak terpisahkan dalam tahapan pelaksanaan adat, namun pelaksanaannya murni berdasarkan Agama Islam dalam perkawinan adat Sasak.

Membait Janji
Membait Janji ini sebenarnya merupakan perundingan antara pihak keluarga pengantin lelaki dengan pihak keluarga pengantin perempuan untuk menentukan, kapan penyelesaian adat akan dilaksanakan, termasuk jumlah biaya yang diperlukan. Karena dalam peralatan itu, kedua belah pihak akan mengundang sanak keluarganya untuk menyaksikan penyelesaian adat.
Dalam perundingan ini, banyak sekali pertentangan yang terjadi, sehingga kadang-kadang terjadi perselisihan yang seru dan menyebabkan gagalnya perundingan, karena masing-masing pihak tak mau mengalah. Hal ini terjadi karena; Pihak perempuan terlalu tinggi permintaan yang diajukan kepada pihak keluarga lelaki sebagai sumbangan, Persyaratan yang tak mungkin dipenuhi oleh pihak lelaki.
Terjadinya pertentangan ini mungkin saja disebabkan, karena pihak keluarga perempuan menganggap pihak keluarga lelaki masih sebagai musuh di dalam adat, ditambah lagi, pihak keluarga perempuan terkadang lupa bahwa, perkawinan itu merupakan hal yang suci dan sakral. Dan merupakan kepentingan sosial, lalu digeser kepada kepentingan ekonomi.

Masalah gantiran
Yang kurang disadari oleh kedua belah pihak adalah, anggapan sebagai “musuh dalam adat”. Meskipun berlaku dalam hakekat yang sebenarnya setelah akad nikah diikrarkan, maka kedua belah pihak sudah terikat sebagai keluarga. Bukan saja pihak mempelai, namun kedua keluarga sudah bersambung menjadi keluarga besar.
Berunding di dalam keluarga yang tidak menganggap masing-masing pihak sebagai musuh, sekaligus kedua belah pihak sebagai partner yang memiliki tanggung jawab yang sama. Zaman lampau, soal besarnya gantiran atau pisuke, mempunyai patokan tertentu, yaitu :
- Satu ekor kerbau/sapi dewasa dan biasanya yang jantan (jagiran)
- 100 catu beras (1 catu = 2,5 – 3 kg )
- Kayu api secukupnya
- Bumbu-bumbu/ragi secukupnya
Namun sekarang, untuk praktisnya diperhitungkan dengan nilai uang yang kadang-kadang jumlahnya sangat besar, seolah-olah memaksakan bagi pihak lelaki untuk memenuhi nilai tersebut.

Masalah Denda
Masalah denda yang diterapkan dalam hukum adat Sasak, terutama yang berlaku dalam adat perkawinan dengan pengertian bahwa, setiap pelanggaran yang dilakukan dalam adat, sudah tentu memiliki sangsi dan penerapan hukumnya. Zaman dulu, banyak sekali hukuman yang diterapkan yang kadang-kadang terlalu keras, namun belakangan, sudah disesuaikan dengan keadaan. Misalnya pelanggaran yang dihukum dengan hukuman mati, sekarang cukup dengan hukuman denda pati dalam sorong serah.
Ada beberapa pelanggaran dalam adat perkawinan yang biasa berlaku adalah :
- Malagandang, berupa paksaan terhadap seorang perempuan yang tidak mau dilarikan oleh seorang lelaki.
- Merari’ Kenjelo, yaitu merari’ pada siang hari, karena merari’ itu, lazimnya pada malam hari.
Ada juga pelanggaran yang dianggap lebih enteng, misalnya :
- Babas Kuta yaitu, melewati batas desa bagi orang merari’ berlainan desanya.
- Nglengkak, yaitu seorang perempuan yang lebih muda meninggalkan kakaknya lebih dulu merari’
- Nyalin Panji, yaitu berganti-ganti utusan untuk melakukan perundingan.
Selain pelanggaran di atas, masing-masing desa memiliki istilah-istilah sendiri dalam memberikan pelanggaran. Pelanggaran yang terjadi, sangsinya merupakan semacam pembayaran denda yang dikeluarkan pada saat upacara sorong serah, yang setelah semuanya terlaksana, lalu ditutup dengan kalimat “tan onang kebaos malik” yang artinya, apa yang sudah diputuskan, tidak boleh diganggu gugat lagi.
Akhirnya kita masyarakat adat berharap kepada pemangku dan pengempu masyarakat Sasak untuk memaklumi bahwa, adat Sasak merupakan suatu pengarahan untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat Sasak. Kedua, adat Sasak tidak terlalu ketat untuk tidak dilaksanakan, karena segala persoalan akan dapat diatasi dengan musyawarah. Ketiga, merupakan tugas dan peranan Mahelis Adat Sasak untuk mempersempit dan memperkecil akibat dari pertentangan dalam masyarakat, terutama mengenai pertentangan dalam adat perkawinan yang masih banyak dipengaruhi dan dicampur aduk dengan adat dari luar. Semoga sumbangan tulisan ini bermanfaat…