Senin, 02 Juli 2012

Beberapa “Maliq” Dalam Adat dan Tradisi Masyarakat Sasak

Oleh : Lalu Pangkat Ali

“MALIQ” artinya tabu, terlarang,tidak layak diperbuat, karena akan membawa akibat buruk yang tidak saja datang secara nyata,tapi juga tidak nyata.

Kata maliq bermakna terlarang keras yang berbeda tingkat kedalaman pengertiannya dengan kata-kata; ndeq kanggo (tidak boleh), jra (jangan), ndeq bau (tidak dapat), tesiliq (dimarah), pelih (salah).
Contoh pemakaian dalam kalimat misalnya; “Ndeqte kanggo girang akalang batur” (tidak boleh suka menipu teman), jrate girang akalang batur” (jangan kita suka menipu teman).
Kalimat ini akan sangat berbeda artinya bila menggunakan kata “maliq”. Contoh; “O, aku kumaliqang diriq yak tipu batur” (O, aku ini sangat menjaga diriku (menyumpahi diriku) untuk sampai menipu teman. Atau kutabukan diriku untuk menipu teman.
Para pembaca dan pecinta nilai luhur budaya bangsa. Manakah contoh barang-barang yang dianggap “maliq” pada penampilan diri kita? Adapun masalah penampilan yang dilarang itu antara lain ada tiga perkara.

Pertama, berpakaian haji bagi orang yang bukan haji. Paham adat Sasak, sangat menjunjung tinggi kedudukan para kaum haji. Di samping karena dianggap orang “suci” yang telah mampu menyempurnakan rukun Islam yang lima, tetapi memang untuk berhaji pada masa lalu adalah, teramat sulit jalannya.
Pemerintah kolonial Belanda, baru membuka perjalanan haji ke Mekkah pada tahun 1870-an. Ketika itu Belanda mengadakan kerja sama dagang dan usaha pelayaran dengan Koninklijke Paleetsuatch Mascapay (KPM) dan menyusul kemudian dengan Koninkle Limited Maskapay (KLM). Yang terakhir sekarang dengan Garuda Indonesia Airways (GIA). Calon haji (sekarang,JCH) diberangkatkan melalui Pelabuhan Sisik (Selong) yang kemudian terkenal dengan nama Labuhan Haji di Lombok Timur sana.
Biaya ongkos haji (ONH) untuk ongkos kapal saja, setara dengan harga berhetar-hektar tanah. Sangunya juga setara dengan sepasang sapi banteng. Rowah, selamatan, kenduri ketika akan berangkat dan ketika pulang (sebulan sebelum dan sebulan ketika pulang) setara dengan  biaya begawe nyongkolan sepuluh kali.
Tingkat kesulitan perjalanan dengan kapal api sampai melahirkan kisah-kisah petualangan yang mengasikkan dan ajaib-ajaib. Tingkat kesulitan dan lamanya tinggal di Makkah (masa itu masih boleh mukim) memberi keyakinan masyarakat bahwa, jadi haji itu luar biasa nilainya. Ia bukan barang biasa, seperti orang pergi plesir, pesiar melihat-lihat dunia luar. Bukan pula orang berturis-turisan. Ketika di Makkah, para Syeh mengganti namanya dengan nama-nama muslim yang disunatkan.
Masyarakat Sasak, memberikan titel “tuan aji” yang kemudian ternyata alim, soleh dan menyebarkan ajaran agama disebut “tuan guru”. Maka itulah, apabila ada orang yang bukan haji, lalu meniru berbusana haji, berkopiah putih dan bersorban, lalu adat menyatakan bahwa, manusia seperti itu bisa “didera beramai-ramai”. Kesalahannya disebut “wong asalin rupa dudu haji mabusana haji” (orang berganti rupa, bukan haji berpakaian haji).
Bahkan kaum adat fanatik menyatakan, orang yang “ngarokang” (menyaru) berbusana haji itu, “honang kapaten” (boleh dibunuh). Tampaknya ada hal lain yang ingin dilindungi oleh hukum adat ini yaitu, kemurnian pengajaran agama. Jangan sampai ada “haji pura-pura” (haji palsu) yang menyebarkan ajaran sesat. Nah bagaimana faham (nilai) adat kita sekarang?
Kedua, “Wong agumbalan” (orang gondrong). Orang agumbalan (gondrong) masa itu dianggap orang baru turun dari pertapaan. Dia berani tampil di lorong desa dengan rambut tergerai, berarti dia sudah amat sakti. Tak mempan senjata tajam dan tak bergeming atas segala sihir, begik, sokeq dan racun lainnya. Maka adat menyatakan, orang yang demikian itu sah dibacok diam-diam. Bila ia mati karena bacokan, tak jadi perkara.
Ketiga, “Wong jaler asitatan alis”: Laki-laki yang bersifat alis, wadam, bencong, laki-laki bersolek seperti wanita. Kebalikan dari aturan adat ini, maka wanita yang berbusana laki-laki juga dilarang. Kedua hal tersebut hanya dibenarkan bagi kaum seniman (penari, pemain drama).
Di sisi lain, adat menyatakan bahwa, kaum seniman seperti itu tidak dilarang dengan para wanita yang suaminya sedang tidak di rumah, sementara bagi kaum laki-laki lain, dilarang keras dan diancam sangsi denda “Ararasan lan wong ararabi” (bercakap-cakap dengan istri orang)
Berikutnya, larangan lain, meski bukan berperingkat “aling” tetapi berakibat fatal, seperti bersiul-siul di depan pekarangan orang atau di malam hari. Ini dianggap menantang. Ada lagi larangan lain, mengarahkan sinar lampu senter ke depan di tempat umum (tontonan wayang kulit, pasar malam di jalan umum ketika banyak orang yang lalu lalang). Hal lain, tidak mau keluar lebih dahulu dalam pemidangan (midang), sementara sudah ada orang lain yang datang bertandang (menyusul).
Masih banyak lagi pernak-pernik nilai budaya kita yang perlu kita perhatikan yang barangkali dapat diniscayakan untuk menjadi tatanan hidup, bertatakrama dan harmoni di antara kehidupan kita yang “ore gade” (amburadul) saat ini. Termasuk di dalamnya berbagai larangan yang bernilai konotatif (berkias) yang terlanjur kita buang sebelum sampai kita pikirkan manfaat dan mudaratnhya. Bahkan sangat mungkin petuah berbentuk larangan itu mengandung unsur tahyul atau mistik.
Misalnya, pernahkah kita renungkan makna larangan; jangan berludah di sumur, nanti mulutmu sumbing. Jangan bercanda di......(tempat tertentu, sumur, makam, tebing (nanti jinnya bisa marah). Jangan duduk di atas bantal, nanti bisa bisul. Jangan tidak kau habiskan nasi yang sudah ditaruh di piring, nanti ayammu mati. Kalu diberi minuman (teh,kopi) atau nasi ketika bertamu, maka ciciplah meski sedikit. Jika tidak nanti kau lemas kelaparan. Ada lagi larangan lain; jangan kau langkahi batu asah, nanti pangkal pahamu bengkak dan lain-lain.
Yang bentuknya suruhan atau perintah, seperti; berilah sesuatu kepada bayi yang baru pertama kali dibawa, agar kelak dia tidak jadi maling. Nayanyikanlah batang padimu sebelum kau buat dia jadi serunai (kendola). Ingatkah pembaca akan lagu Sasak “Mbok-mbok mbang, oyok-oyok lempani lili gadung? Begitu juga syarat membikin serunai (kendola), agar bisa berbunyi nyaring, ucapkanlah dengan kalimat “Puh belang”. Ada anak kecil yang jatuh lalu menangis, kita cari sumber yang sakit, lalu meniupnya sambil mengucapkan “poh blang, besopok lain tolang”......Masih banyak lagi, silahkan diingat-ingat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar