Rabu, 14 Maret 2018

Mencari Sang Pelopor



Mencari
Sang
Pelopor.....
      PERJALANAN panjang melelahkan, menelusuri jantung Desa Kekait hanya untuk bertemu sang Pelopor. Rasa ingin tahu dan bertemu tak pernah pudar. Dan nanti dalam pertemuan itu, ingin mengorek segala hal terkait penganugerahan “Pelopor” baginya. Siapa dia? Dia adalah H. Habibul Mustaan, sang Pelopor Kedaulatan Pangan Nasional dari Desa Kekait Kecamatan Gunungsari.

                Pagi hari, cahaya mentari di desa itu masih bersinar cerah. Cahayanya meredeup ditelan terik matahari, sehingga warna angkasa menjadi biru temaram. Langkah ini pasti dan satu niat; bertemu dengan H. Habibul Mustaan. Kendati disetiap persimpangan harus rela bertanya; dimana gerangan rumah sang Pelopor tersebut.
Akhirnya pada sebuah dusun kecil bernama dusun Kekait Daye, tinggallah sesosok lelaki paruh baya yang tak lain adalah Habibul Mustaan (35). Warga Kekait akrab menyapanya Mustaan. Dia dianugerahi sebagai Pelopor Kedaulatan Pangan Nasonal, karena berhasil merubah tatanan kehidupan ekonomi warga Kekait yang pahit dan getir itu. Sekarang  telah menempuh titik balik yang baru. Spontan sudah berubah, karena semburat impresi oleh desa Aren di jantung Kabupaten Lombok Barat (Lobar) ini.
                Mungkin ada yang bertanya, kenapa harus Kekait? Apa yang menarik di desa ini? Jawabannya cuma satu, Aren! Aren adalah ciri khas desa Kekait. Terletak di perbukitan yang subur, merupakan berkah tak terhingga bagi desa ini, karena bukan cuma aren yang tumbuh lebat di perkebunan. Mustaan akhirnya berceloteh membuka percakapan, hampir tidak ada tanaman yang ditanam dengan sengaja di Kekait. Aren, pisang, durian, nangka dan pepohonan yang rimbun menumpuk di Kekait, adalah anugerah yang tumbuh sendiri.
Saya jadi tertegun. Desa ini memang memproduksi hasil olahan aren. Mulai dari Tuak Manis yang disadap dari getahnya sampai gula aren yang terkenal itu. Tapi bukan hanya itu. Baru sekarang juga saya paham kalau pohon aren (enau) tiap incinya pun bermanfaat. Biji aren dapat berubah menjadi kolang-kaling di es buah yang dapat dibeli dimana-mana. Bahkan dedaunannya dapat dijadikan sapu lidi, ijuk hingga atap rumbia. Buah-buahan lain juga marak di Kekait. Tidak ada satupun dari pisang ataupun nangka hasil tanah Kekait yang tidak manis rasanya.
                Kudengar sang pelopor berceloteh. Tidak usah jauh-jauh ke bukit, di sekeliling rumah warga saja sudah banyak pepohonan rindang yang tumbuh subur. Potensi ini benar-benar dimanfaatkan warga. Tapi masalah memang ada dimana-mana tak terhindarkan. Demikian juga dengan desa Aren ini, SDM yang nyaris lumpuh, sementara potensi sumberdaya alam berupa aren terus melimpah ruah tanpa bisa dimanaj dengan sempurna. Kondisi inilah yang akhirnya dirubah oleh Mustaan hingga mencapai klimak impian yang nyata. “Sekarang, berapapun Tuak Manis (air nira) milik warga saya beli,” tantangnya.
          Konon, tuak manis pun merupakan salah satu usaha menjanjikan warga Kekait. Namun tuak manis ini telah dialih fungsikan menjadi minuman keras memabukkan (miras). Dengan kondisi yang tidak mengenakkan, hampir saban hari anak-anak muda terlibat dalam konsumsi miras tuak ini. Kendati awiq-awiq dan regulasi Perda miras pun muncul, namun minuman memabukkan yang satu ini toh masih disukai pula.
                Mustaan kembali ke masa lalu, saat Sumberdaya Manusia (SDM) bidang ekonomi Desa Kekait nyaris lumpuh, nyaris mendapat branding status rendah. Namun sejalan dengan kondisi globalisasi yang kian hebat dan cepat, berdampak positif pada pengembangan SDM tersebut. Salah satu dampak positif itu mengarah pada Habibul Mustaan. Lelaki ramah ini, mampu membawa desanya berbicara di tingkat nasional. Melalui upayanya membangun masyarakat pra sejahtera menjadi sejahtera, akhirnya, lelaki murah senyum ini dinobatkan sebagai Pelopor Kedaulatan Pangan Nasional. Inovasinya adalah, pengembangan ekonomi melalui produksi gula semut.
Sepak terjang Mustaan membangun ekonomi warga terus berlanjut. Bagai air sungai tiada bermuara. Sekali dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Seluruh yang berkaitan dengan air nira, disulapnya menjadi gula batu, gula semut, gula cair bahkan minuman tradisional ‘serbat’ dikemas rapi dalam bentuk sunshet. Hampir tak ada yang tersisa, semua laris manis menelusuri pasaran tradisional maupun moderen. Toko, kios, warung bahkan supermarket ternama pun, gula semut milik Mustaan hampir memenuhi tiap outlet. Tidak berhenti sampai di situ, di kantor-kantor pemerintah di Lombok Barat, gula semut milik Mustaan pun dikonsumsi para pegawai.
Melihat itu, Mustaan harus konsen, ingin menemukan satu solusi yang tepat, supaya harga-harga produksi gula semut bisa terangkat. Jika solusi itu bisa jalan, maka nilai plusnya akan terangkat pula. Namun selama belasan tahun, Mustaan harus banting tulang, jatuh bangun membina perekonomian masyarakat desanya. Selama itu pula, teryata belum juga berhasil membukakan matanya tentang dunia, tentang apa yang selama ini sudah dikenalnya.
Tapi dalam dua bulan terakhir, Mustaan sedang menemukan titik balik yang baru. Persepsinya tentang banyak hal drastis berubah, karena lagi-lagi semburat inspirasi yang ditampilkan oleh Desa Kekait yang kaya akan sumberdaya alam...ya berupa pohon aren.
Melihat potensi itu, Mustaan menemukan titik nadir, mendepersifikasi gula aren. Setelah berhasil, selanjutnya mencari kemasan yang memang lebih menarik dari sebelumnya. Intinya adalah merubah kemasan. Setelah itu dilanjutkan dengan mencari pasaran yang lebih luas, namun tidak serta merta meninggalkan pasar sebelumnya yakni pasar tradisional. “Dalam pemasaran, semua harus jalan, baik di pasar tradisional maupun moderen,” jelasnya pada suatu kesempatan dialog dengan saya.
Tidak hanya itu, bidikan lain yang difokuskan adalah pasar ekspor. Terhadap hal ini, diperlukan tenaga-tenaga trampil yang bisa mengolah, mendapatkan dukungan dari masyarakat setempat yang nota bene terlibat dalam pengolahan gula semut atau gula aren ini. Termasuk yang tak kalah pentingnya adalah mendapat dukungan dari pemerintah Lombok Barat.
Diakui, setelah adanya produk, singkronisasi serta dukungan semua pihak, maka tingkat kesejahteraan masyarakat, dari apa yang diproduksi hari ini, maka habis untuk hari ini. Tetapi untuk saat ini, Mustaan tidak berfikir mau makan apa hari ini. Demikian juga dengan sebagian masyarakat, sebelumnya tidak memiliki daya beli yang kuat, namun sekarang berada dalam level di atas rata-rata.
Mustaan tidak mempungkiri kendala yang ada. Minimnya produksi lebih dikarenakan masih menggunakan pola-pola produksi gula semut secara tradisional. Sementara untuk memenuhi kebutuhan nasional, dibutuhkan penggunaan sarana dan alat-alat produksi moderen. Karena produksi aren menjadi gula semut harus dilakukan tepat waktu. “Itu kendala kita berproduksi dalam skala besar. Kami sedang berkoordinasi dengan Dinas Perindustrian dan Bappeda Lombok Barat untuk mengoptimalkan produksi kita,” jelas Mustaan.
Hal ini beralasan, karena Mustaan terpilih sebagai Ketua Asosiasi Aren Indonesia (AAI) Nusa Tengara Barat (NTB), tentu harus membangun komunikasi bisnis dengan berbagai pihak dalam memperluas pasar produk gula berbahan baku air aren ini.
Kata Mustaan, AAI NTB sendiri, mampu memproduksi ratusan kilogram gula merah per bulan dalam bentuk batangan dan gula semut dengan memanfaatkan potensi air nira (enau). Ini masih di Kabuaten Lombok Barat, Lombok Utara dan Lombok Timur, belum termasuk kabupaten/kota lain yang belum menjadi angota AAI NTB. “Kami siap menjalankan kerjasama sepanjang saling menguntungkan,” ucap sang pelopor yang sudah menggeluti usaha produksi gula aren selama puluhan taun itu.
Sekarang kesibukan Mustaan seperti never die, terus berlanjut. Apalagi AAI NTB sendiri diminta sebagai salah satu daerah penopang kebutuhan gula merah ekspor. Baru-baru ini, AAI NTB telah menandatangani MoU dengan PT.PPI (Perusahaan Perdagangan Indonesia) untuk menjawab kebutuhan gula merah di luar dan dalam negeri. “AAI pusat meminta NTB menyiapkan minimal 1,5 ton gula semut sebulan,” kata Mustaan. Bagi dia, permintaan ini cukup tinggi, karena pihaknya masih melakukan produksi yang terbatas. Sementara hasil di daerah bisa dipasok hanya untuk memenuhi kebutuhan nasional. Sedangkan MoU yang dilakukan dengan PT. PPI, untuk kebutuhan ekspor ke Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Timur Tengah, selebihnya ke Eropa.
Apapun alasannya, Mustaan kini sudah menjadi pelopor. Sang Maistro Kedaulatan Pangan Nasional yang membawahi lebih dari 397 orang petani perkebunan pohon aren. Luas areal perkebunan mencapai sekitar 128 hektar.
Satu hal yang membut saya terkesima dari Kekait. Semakin hari warganya tumbuh tidak menjadi warga individualistis. Dulu, warga tidak peduli dengan urusan orang lain. Sekarang mereka hangat dan ramah. Setiap orang yang saya temui, pasti menyapa dan tersenyum. Dari bocah-bocah kecil, anak-anak muda sebaya, ibu-ibu dan bapak-bapak hingga kakek nenek, semua rajin tersenyum dan menyapa dengan sejuta kehangatan.
Mungkin mereka telah menemukan keindahan, dan telah membuka mata, karena lebih banyak tahu tentang potensi dan daya tarik desa Aren Kekait. Sama dengan potensi desa Kekait, seseorang seperti Mustaan bukan hanya menarik, tetapi juga memiliki banyak potensi, harus bermanfaat bagi orang lain dan sekitarnya. Semoga! (L.Pangkat Ali)