Minggu, 06 November 2011

Teladan Seorang Pedagang Bong Keliling

TELADAN SEORANG PEDAGANG BONG 
oleh: Lalu Pangkat Ali, S.IP
    Saya benar-benar terkesima membaca pernyataan sahabat sekaligus orangtua saya, Lalu Bayu Windia. Beliau dalam bukunya menulis tentang satu persoalan sosial yang patut digugu. Patut ditiru oleh semua kalangan terutama kaum birokrator. Cerita beliau yang akhirnya  menjadikan saya segera mengambil sebuah kesimpulan; masih ada ternyata seorang penjual bong yang memiliki hati yang sangat bijaksana.
baca selengkapnya
    Jika boleh membandingkan antara seorang birokrator yang nota bene duduk di belakang meja, tiap bulan dapat gaji, honor, mobil mewah dan fasilitas ini itu, tapi mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, pasilitas yang didapatkan itu merupakan hasil dari uang rakyat. Sementara rakyat (pedagang Bong) saban hari mengelilingi kampung dan udik desa lain, menjajakan ‘Bong’ (gentong) dengan penuh susah payah. Tapi setiap orang adalah guru, semua tempat adalah sekolah, demikian kutipan yang didapat dari Ivan Illich.
    Bahkan dalam cerita Mamiq Bayu, dari suatu kejadian kecil, sebuah tauladan berarti dapat dipetik. Seperti peristiwa sederhana yang pernah dialami bersama seorang penjual Bong keliling tadi. Namanya Amaq Darme. Pekerjaannya sebagai penjual Bong, Amaq Darme telah menekuni pekerjaannya selama bertahun-tahun. Setiap hari Ia pikul dua Bong dagangannya berjalan berkeliling dari desa yang satu ke desa lainnya.
    Jam kerja Amaq Darme sebagai penjual Bong dimulai pagi hari setelah selesai sarapan dengan segelas kopi, kadang ditemani ubi jalar rebus. Dagangan si Amaq tidak selalu laku terjual. Amaq Darme juga pernah bercerita, suatu hari kedua Bongnya tidak laku dijual, lalu dititipnya dagangannya pada rumah seseorang dan ia pun masih mampu melanjutkan perjalanannya untukpulang ke rumah hari itu.
    Pekerjaan sebagai pedagang Bong kreliling ini boleh dipandang sebagai pekerjaan yang serba salah. Kalau dagangannya tidaklalu berarti tidak ada makan enak esok hari. Sementara kalau dagangannya kebetulan terbeli satu buah saja, nah ini yang unik sebagai seorang pedagang Bong, agar pikulannya tetap seimbang, dagangannya yang telah laku harus diganti dengan batu atau sesuatu yang bisa membuat posisi pikulannya tetap seimbang. Iseng ditanyakan, mengapa bukan posisi pikulan seperti itu yang dijadikan labang pengadilan? Esensinya, sama-sama berupa neraca yang harus selalu dijaga supaya tetap seimbang.
    Yang ingin diceritakan dari Amaq Darme penjual Bong adalah ketika suatu hari Mamiq Bayu membeli satu buah Bongnya. Sesungguhnya dia tidak terlalu butuh akan Bong itu, tetapi terjadinya transaski lebih karena rasa kasihan saja. Selain itu ada hasrat untuk menyelami kesehariannya melalui bincang-bincang yangbtak direncanakan spontan. Perbincangan dan dan tawar menawar dimulai. Amaq Darme mematok harga Rp.25 ribu untuk setiap Bong. Dalam hati si Mamiq sudah deal dengan berapapun harga yang disebutkan, tapi tidak bermaksud mencandanya dengan mencoba memperpanjang tawar menawar seperti alotnya ibu-ibu menawar di pasar dengan menyebut Rp.20 ribu, kemudian sedikit demi sedikit Mamiq menaikkan harga, muali dari Rp. 20.500 menjadi Rp.21 ribu. Si Amaq bersedia turun dari harga awal yang  disebutkan dan ketemu pada harga Rp.24.500. Tampak sekali raut senang terpancar di wajah si penjual.
    Lalu Mamiq bayar dengan uang Rp.25.000 dan dia ternyata tidak punya Rp.1.000 sebagai uang susuk yang harus dikembalikan pada Mamiq. “Tidak ada uang angsulnya, Bapak”, begitu katanya dengan polos. Mamiq pun tidak sempat menanggapi karena sedang berbasa-basi dengan tetangga yang kebetulan lewat. Tanpa berkata-kata, Mamiq salami lalu si pedagang Bongpun siap untuk melanjutkan perjalanan kelilingnya. Dalam hati Mamiq telah transaksikan uang Rp.1.000 dengan mengikhlaskan untuk tidak dikembalikan. Toh cuma seribu rupiah!.
    Sebelum beranjak dan minta izin untuk mengambil batu yang kebetulan terheletak di pinggir got, Mamiq pun mengangguk seperti orang sombong karena topik pembicaraan dengan tetangga kian asik. Si Amaq benar-benar meletakkan batu itu di pikulannya sebagai ganti dagangan yang telah laku dibeli Mamiq dan Amaq pun langsung melenggang karena pikulannya telah seimbang. Sebuah ‘pemandangan’ menarik, begitu dalam hati Mamiq. Dan tetangga tadi yang kebetulan orang Jawa pun mempunyai ketertarikan yang sama. Diikuti terus langkah si penjual Bong yang berlalu sapai menghilang dari pandangannya. “Susahnya orang mencari uang” kata tetangga itu yang punya rasa humor dan sosial tinggi.
    Kejadian ini sudah lama berlangsung dan Mamiq pun melupakan Amaq. Sampai tiba-tiba pada suatu hari ketika baru saja Mamiq pulang kerja, Mamiq melihat ada orang menunggu di pintu gerbang  rumah. Lama baru Mamiq ingat bahwa dialah si penjual Bong. Diawali sedikit basa-basi Mamiq langsung mengundang canda. “Saya belum butuh bong lagi” sapa Mamiq dengan maksud menggoda.
    “Saya sudah tidak lagi menjual bong, Bapak. Saya berencana mencari kerja ke Malaysia”, kata si Amaq menimpali.
    “Oh bagus, kerja apa? Di mana? Pakai jalur resmi tidak?” Mamiq langsung memberondongnya dengan pertanyaan-pertanyaan, karena merasa sudah sangat akrab. Semua pertanyaan itu dijawab memuaskan.
    Lalu pertanyaan Mamiq berikutnya; “apa yang bisa saya bantu?”
    “Anu, Bapak......karena Amaq sudah tidak lagi sebagai penjual bong dan akan ke Malaysia, hari ini saya bermaksud mengembalikan uang susuk yang dulu belum sempat saya kembalikan”. Si Amak kemudian membuka lilitan sarung yang dikenakannya. Muncul dompet plastik agak lusuh dan ia mengeluarkan uang Rp.1.000 dengan terbungkuk-bungkuk menyodorkannya pada Mamiq.
    Mamiq seketika jadi membisu! aat itu ia merasa bukan siapa-siapa di depan Amaq. Perasaan bangga padanya sekaligus terharu. Seorang penjual Bong keliling masih sangat tinggi moralnya.
    Uang yang Rp.1.000 yang sudah dilupakan Mamiq, baginya merupakan peristiwa besar yang harus dituntaskan. Seharusnya kita semua memang begitu. Si Amaqlah yang benar!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar